GLOBAL VERSUS
Oleh: Fatma Elly
Oleh: Fatma Elly
“HERAN, zaman sudah modern begini, ada saja yang berpikir dan berperilaku kebelakang. Ke abad pertengahan,” ujar Anna dalam gereget gemas wajahnya yang berkilat, di saat menunggu jam kuliah tiba.
“Bayangkan saja, di zaman keterbukaan, eh malah menutupi diri. Mengekang pergaulan bebas,“ sambungnya lagi seraya kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri, seolah merasa heran atas perilaku beberapa teman-teman kampusnya.
“Coba pikir, Jakarta ini kan panas, eh malah pakai pakaian begitu,“ katanya pula.
“Iya, ya. Aku juga heran,“ sambut Lusia, “kok mereka bisa sih, hidup kayak gitu. Membatasi pergaulan dengan lelaki, tidak mengikuti selera mode, tidak peduli tren masa kini, aneh!“ Keningnya berkerenyit, alis dan bahunya terangkat.
“Ya tentu saja Lus, fundamentalis memang gitu. Ingin kembali pada kemurnian agama. Orang-orang kolot yang lupa, bahwa era sudah sedemikian tinggi nilai peradabannya, berbeda jauh dengan dulu,“ cetus Anna lagi.
Sementara itu, saya yang dari tadi diam tak berkomentar, kini tak dapat menahan diri lagi.
“Aku heran padamu Ann, kok kamu sinis gitu ? Padahal kau selalu mendengungkan kebebasan dan hak asasi manusia? Sekarang kayaknya kau malah ingin merampas kebebasan dan hak-hak mereka, dengan cemooh seperti itu!“ ujar saya tak kalah gemas dan geramnya.
"Justru sebaliknya Lyd. Aku yang heran, kok mereka tak menghargai kebebasan dan hak asasi mereka?“ balasnya pula dengan sinis dan ejekan yang kentara.
“Mungkin ukuran kebebasan dan hak asasi mereka lain denganmu Ann,“ jawab saya lagi.
“Ah aku pikir, mereka hanyalah orang-orang yang ketinggalan zaman.“
“Bukan ketinggalan zaman Ann, malah kau harus salut dan angkat topi pada mereka. Zaman materialisme begini, dimana pola hidup hedonis dan konsumeris sudah sedemikian menguasai masyarakat, malah mereka sanggup menunjukkan eksistensi dan kepribadian mereka, tanpa terpengaruh kultur global.“
“Tapi, yah mana bisa maju kalau gitu? Sejarah mencatat, Eropa bangkit karena memisahkan agama dari Negara, dan dari kehidupan umum. Coba saja lihat, ilmu dan teknologi mereka jadi tinggi dan berkembang. Peradaban mereka menguasai kehidupan global. Hegemoni kekuasaan juga di tangan mereka, mau contoh yang bagaimana lagi?“
“Jangan lupa, Ann. Sejarah sekularisme Eropa lahir, karena ketidaksesuaian agama mereka dengan ilmu pengetahuan. Dan kezaliman yang dilakukan gereja serta para pendetanya. Sedang Islam tidak seperti itu. Malah menyuruh menuntut ilmu, mulai dari buaian hingga keliang lahad. Bahkan sampai kenegeri Cina. Orang-orang beriman dan berilmu, diangkat beberapa derajat diatas manusia lainnya. Jadi Islam sangat mengutamakan ilmu. Itulah yang kubaca dari buku yang dipinjamkan Isti.“
“Isti? Wah rupanya kau telah ditularinya Lyd. Yang penting kan realitas. Nah realitasnya sekarang bagaimana? Maju? “ katanya lagi seakan mengejek.
“Muslimin dulu umat yang jaya, Ann. Terbaik, adil dan pilihan. Mereka menguasai sampai ke Eropa, Spanyol, Perancis Selatan, Sisilia, bahkan orang Barat banyak belajar di Sekolah Tinggi Islam Toledo. Mereka pintar juga karena dicerahkan kaum muslimin. Filsafat Yunani gak di kenal tanpa mereka, Ann.“
“Ah, dulu. Bangga banget sih dengan dulu. Yang penting sekarang Lyd. Sekarang!“
“Tapi, dulu kan sejarah, Ann. Tolok-ukur masa kini. Pelajaran untuk sekarang dan yang akan datang,“ kata saya bersemangat.
“Wah, rupanya kau telah menjadi fundamentalis pula Lyd,“ ucapnya mencemooh.
Dan sebelum sempat saya menjawab, ia telah menyambungnya lagi dengan cepat:
“Aku tetap dengan pendapatku, Lyd. Bahwa kemajuan hanya bisa tercapai karena memisahkan agama dari Negara. Dari kehidupan secara umum. Maka dari itu, tidak ada jalan lain, kita harus meniru Barat. Membebaskan diri dari keterkungkungan agama yang kolot. Mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman.“
Saya bertambah geram dan jengkel padanya.
“Sebenarnya, apa sih, ukuran kemajuan menurutmu Ann? Apakah hidup bebas tanpa ikatan moral dan agama? Bebas, sebebas-bebasnya? Lalu, apakah itu mungkin? Apakah itu bakal menghasilkan kebaikan? Ketenteraman, kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan?“ ucap saya pula beruntun, seolah orator sedang berpidato dengan semangatnya.
Ia diam, tapi wajahnya masam.
Saya pun melanjutkan, tak kalah semangatnya dengan yang tadi.
“Berbicara tentang realitas seperti apa yang kau katakan tadi, maka bagaimanakah realitas masa kini, Ann? Zaman dengan peradaban Barat yang kau bangga-banggakan itu? Apakah terisi kebaikan? Keadilan, ketenteraman, kedamaian, persamaan, persaudaraan, kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan?“ kata saya beruntun dan betubi-tubi pula.
Ia masih jua diam.
Dan saya menambahkan lagi, kali ini bernada lembut penuh ajakan.
“Bukalah hatimu Ann. Lihatlah sekeliling. Asia, Afrika, dunia. Adakah realitas seperti itu? Atau bahkan mungkin terbalik?“
“Aaah, pusing gue. Debat melulu! Yang senang dengan kelompok jeans dan kaos berlengan pendek, dan tetap mau bergabung, ya disini. Yang tidak mau, ingin berubah dan mau pindah, silahkan buka. Ganti dengan jubah dan jilbab, masuk kelompok Isti. Pusing-pusing amat!“ potong Rita jengkel dan sebal. Menyindir dengan nada keras.
(Petikan dari Kumpulan Cerita Pendek, Serial Gender: “Jubah Menggantikan Jeans”, dalam buku: “Malam Ini Tak Ada Cinta”, Fatma Elly, Establitz, 2006)
NYATA TERLIHAT, dalam cerminan cerita pendek di atas, adanya dua kubu yang berbeda, dengan dua paham atau pandangan yang berbeda pula. Di antara para mahasiswi yang terdapat pada suatu kampus, di mana mereka sedang belajar menyerap dan menuntut ilmu.
Kubu pertama diwakili oleh Isti dan kawan-kawan. ‘Berbusana muslimah’, tapi dianggap fundamentalis. Berbau ‘kultur’ Arab.
Kubu kedua diwakili oleh Anna, Rita, dan kawan-kawannya. Berbusana ‘jeans dan kaos berlengan pendek’.
Sementara si tokoh ‘saya’, Lydia, berada di tengah, di antara kedua kubu tersebut. Meski awalnya berada di kelompok Anna, Rita dan kawan-kawan. Tapi kemudian mulai menjurus pada yang pertama. Kelompok Isti. Karena hidayah Allah, dan kemauan mencari dan mengkaji, mempelajari nilai-nilai dan ajaran Islam, serta sering berada di kelompok Isti. Mau menemani dan berkawan.
Kedua kubu tersebut, saling berseberangan. Baik di dalam cara berpakaian, berperilaku maupun di dalam cara berpikir dan sudut pandang. Bahkan di dalam selera.
Kubu pertama merasa terpanggil oleh nilai agama yang dianutnya, maka mereka berbusana muslimah:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu…………” (QS 33:59)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS 24:31)
Hadits Asma’ binti Abi Bakar ra.: Kami telah diberi hadits oleh Al-Walid dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Diryak dari ‘Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar memasuki rumah Nabi SAW. dengan pakaian yang tipis. Sehingga ketika beliau memergokinya, beliau bersabda:
“Hai Asma’,apabila wanita telah mencapai masa haidh (masa baligh), maka ia tak boleh dipandang, kecuali ini dan ini.” (Kemudian Rasulullah menunjuk kepada wajah dan dua telapak tangannya).
PROF AKBAR S. AHMED, dalam bukunya ’Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam’, Mizan, berkata antara lain:
”Karena kekuatan dan keagresifan media Barat dan sikapnya yang anti Islam, orang muslim kehilangan kapasitas untuk merepresentasikan diri mereka. Bahkan untuk menyatakan apa yang mereka lihat dan ketahui, sebagai realitas hidup mereka”.
“Realitas muslim bagi dunia, sungguh telah menjadi citra-citra di televisi, kata permusuhan di surat kabar, humor yang kejam dalam gurauan universal.”
”Orang muslim tidak punya suara di media, tidak punya mimbar. Sehingga tidak dapat menolak dan menjelaskan. Ungkapan identitas kultural muslim, dipandang sebagai fanatisme. Tuntutan muslim untuk mendapatkan hak-haknya yang absah, dipandang sebagai fundamentalisme”.
Ya seperti itulah.
Memakai busana muslimah dengan jubah dan jilbab untuk menutup aurat sebagaimana yang diperintahkan Allah, dikatakan fanatis dan fundamentalis. Bergaya Arab. Padahal perintah Allah.
SEMENTARA ITU John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya ‘Megatrends 2000’ memprediksi bahwa abad XXI ini ditandai dengan adanya berbagai kesamaan, dengan tiga F: food, fashion, dan fun. (makanan, mode dan hiburan), sedang Jalaluddin Rakhmat, menambahkannya dengan faith, fear, facts, fiction, dan formulation. (keprcayaan, rasa takut, fakta/realitas, yang tak berdasarkan kenyataan yang sesungguhnya, perumusan)
NAMUN, bukan semua itu yang akan penulis fokuskan di sin secara terperinci. Hanya lebih terpusat pada adanya global versus di antara masyarakat penduduknya.
Jelas di atas terlihat gambaran ‘fashion’/ mode, atau cara berpakaian yang berbeda di antara mereka penghuni dunia. Sesuatu yang berseberangan. Atau berlainan. Saling berhadapan satu sama lain. Tidak sama.
Amerikanisasi lewat ‘jeans dan kaos berlengan pendek’ dihadapi dengan jubah dan jilbab.
Begitu pula dengan alam pikiran dan sudut pandang. Yang pertama ingin kembali kepada ajaran agama, mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya SAW., sedang yang lainnya berkiblat kepada Barat dengan skularisme yang dianutnya.
Yang petama, kelompok Isti menganggap “kemajuan”, bagaimana mereka bisa loyal/setia dengan ajaran agama dan mengikuti keseluruhan nilainya berdasarkan perintah Tuhan-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS 2:208)
SEDANG YANG LAINNYA menilai kemajuan berdasarkan paham dari Barat, yang tidak mencampuradukkan agama di dalam kehidupan umum. Kehidupan pribadi dipisahkan dari kehidupan sosial/Negara.
Yang pertama melihat dari aspek sejarah, kejayaan umat, berdasarkan penerapan ajaran agama, termasuk bagaimana menggali, mencari dan memiliki ilmu, sementara yang lain mengganggap ilmu dan teknologi bisa maju dan berkembang karena adanya pemisahan tersebut.
Yang pertama melihat dari aspek sejarah, bahwa peradaban Islam saat itu, memperlihatkan ketenteraman, kebaikan, keadilan dan kedamaian, pertengahan di antara kehidupan akhirat dan dunia, (QS 28:77), yang melahirkan kesejahteraan, bahkan sesudah beberapa priode waktu kemudian, pada zaman Umar bin Abdul Aziz, menduduki singgasana Khalifah hanya selama dua setengah tahun, setelah kebobrokan yang melanda bani Umaiyah, beliau berhasil membuat rakyat nya menjadi kaya dan makmur. Sehingga orang ingin mengeluarkan zakat terpaksa mundar-mandir ke sana-sini mencari orang-orang yang patut menerimanya. Tetapi, tidak juga menemukan. Sehingga terpaksa pulang ke rumah, membawa kembali zakat yang hendak dibagi-bagikan. (lihat buku: “Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, K.H. Firdaus A. N., Publicita, 1977
Begitu pula Al Qur’an menginformasikan:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu……………..(QS 2:143)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang munkar, dan beriman kepada Allah…………………...“. (QS 3:110)
Bersamaan dengan globalisasi gaya hidup, yang dicetuskan John Naisbitt dan Patricia Aburdene, maka bangkit pula kehidupan beragama. Dan mereka berdua menyebutnya dengan kebangkitan umat Islam. Dimana-mana Islam sedang memperlihatkan identitasnya.
Mereka kembali sadar. Dan untuk itu, memperjuangkan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana dulu, zaman keemasan yang pernah diraihnya. Dengan peradaban baik yang mereka miliki, di antaranya oleh kepemilikan ilmu pengetahuan, dimana agama mereka sangat menjunjung tinggi untuk itu. Menyerukan untuk menuntut dan mempelajarinya. Dan menilainya dengan derajat yang lebih tinggi, dibanding dengan mereka yang biasa/tidak mememiliki iman dan ilmu.
“…………….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…………… “ (QS 58 :11).
“…………………….Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui, dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.” (QS 39:9).
Juga yang berkenaan dengan ilmu ini, bisa dilihat pada QS 29 :43, 49, 13: 43, 27:40, 7: 7, 52, 55:3-4. 3:190-191.
“Orang berilmu (ulama) itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi.” (Dirawikan Abu Dawud, Ath-Thurmudzi, dari Abid Darda’).
“Isi langit dan isi bumi memintakan ampun untuk orang yang berilmu.” (ini adalah sebagian dari Hadits Abid Darda’).
“Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”. (HR.Ibnu Majah dari Anas).
“Carilah ilmu itu meskipun di negeri Cina; karena sesungguhnya mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, para Malaikat meletakkan sayapnya (memayungkan sayapnya) karena senang (rela) dengan yang ia tuntut”. (HR. Ibnu Abdul Barr).
“Kelebihan orang berilmu atas orang ‘abid (orang yang banyak ibadahnya), adalah seperti kelebihan bulan malam purnama dari bintang-bintang yang lain.” (dirawikan Abu Dawud, At-Tirmidzi dll, dari Abid Darda’).
“Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sorga”. (HR Muslim dari Abi Hurairah).
Dan lain-lain lagi yang menyatakan keutamaan ilmu, dan orang yang mencari dan memilikinya.
TAK PELAKLAH, kalau di dalam sejarah dinyatakan bahwa ilmu yang bersifat praktek pragmatis, eksperimen, datangnya dari Islam. Bahkan filsafat Yunani dikenal dan diketahui melalui tangan-tangan kaum muslimin.
SADAR, bahwa zaman yang mereka katakan kemajuan, karena mengikuti peradaban Barat dengan segala ajarannya itu, termasuk hak asasi dan demokrasi, tapi sebenarnya membawa malapetaka dan kerusakan sebagaimana yang digambarkan oleh tokoh cerpen di atas, membuat mereka semakin gigih melakukan jalan kembali kepada Islam.
Semata-mata untuk melakukan perbaikan. Seperti yang dilakukan Isti dan kawan-kawannya itu.
Karena realitas yang ditemui, kemajuan yang didengungkan, baik berkenaan dengan peri kehidupan pada umumnya, atau yang mengenai hak asasi dan demokrasi, masih merupakan sesuatu yang dipertanyakan, apakah benar-benar sudah terealisasi, atau hanya kata tanpa arti yang sebenarnya.
Akhir dari Cerita Pendek, Serial Gender, dengan judul di atas “Jubah Menggantikan Jeans”, memperlihatkan, betapa kemajuan dengan fenomena kebebasan yang didengungkannya, ternyata hanyalah mendatangkan malapetaka bagi Anna, Rita, dan kawan-kawan-kawannya itu. Anna hamil, begitu juga Rita:
“Hidupku hancur Lyd. Aku hamil. Orang tuaku mengusirku, Dony meninggalkanku. Rita marah dan mengancamku, karena ia juga dihamili Dony,” katanya.
GLOBAL VERSUS ini jauh-jauh sudah difenomenai oleh Al Qur’an:
“………………………Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS 2:251)
Untuk itu, Sirah Nabawiyah dan Al Qur’an telah memperlihatkan: Bagaimana Rasulullah SAW. bersama kaum muslimin telah mencapai kemenangan besar pada saat Futuh Mekkah/ Jatuhnya/ Kemenangan Besar atas Mekkah. Dan ini diinformasikan Al Qur’an:
Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS 17:81)
Ya, Global Versus akan melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka serta merta yang batil itu lenyap……………”(QS 21:18).
Wallahu ‘alam
“Bayangkan saja, di zaman keterbukaan, eh malah menutupi diri. Mengekang pergaulan bebas,“ sambungnya lagi seraya kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri, seolah merasa heran atas perilaku beberapa teman-teman kampusnya.
“Coba pikir, Jakarta ini kan panas, eh malah pakai pakaian begitu,“ katanya pula.
“Iya, ya. Aku juga heran,“ sambut Lusia, “kok mereka bisa sih, hidup kayak gitu. Membatasi pergaulan dengan lelaki, tidak mengikuti selera mode, tidak peduli tren masa kini, aneh!“ Keningnya berkerenyit, alis dan bahunya terangkat.
“Ya tentu saja Lus, fundamentalis memang gitu. Ingin kembali pada kemurnian agama. Orang-orang kolot yang lupa, bahwa era sudah sedemikian tinggi nilai peradabannya, berbeda jauh dengan dulu,“ cetus Anna lagi.
Sementara itu, saya yang dari tadi diam tak berkomentar, kini tak dapat menahan diri lagi.
“Aku heran padamu Ann, kok kamu sinis gitu ? Padahal kau selalu mendengungkan kebebasan dan hak asasi manusia? Sekarang kayaknya kau malah ingin merampas kebebasan dan hak-hak mereka, dengan cemooh seperti itu!“ ujar saya tak kalah gemas dan geramnya.
"Justru sebaliknya Lyd. Aku yang heran, kok mereka tak menghargai kebebasan dan hak asasi mereka?“ balasnya pula dengan sinis dan ejekan yang kentara.
“Mungkin ukuran kebebasan dan hak asasi mereka lain denganmu Ann,“ jawab saya lagi.
“Ah aku pikir, mereka hanyalah orang-orang yang ketinggalan zaman.“
“Bukan ketinggalan zaman Ann, malah kau harus salut dan angkat topi pada mereka. Zaman materialisme begini, dimana pola hidup hedonis dan konsumeris sudah sedemikian menguasai masyarakat, malah mereka sanggup menunjukkan eksistensi dan kepribadian mereka, tanpa terpengaruh kultur global.“
“Tapi, yah mana bisa maju kalau gitu? Sejarah mencatat, Eropa bangkit karena memisahkan agama dari Negara, dan dari kehidupan umum. Coba saja lihat, ilmu dan teknologi mereka jadi tinggi dan berkembang. Peradaban mereka menguasai kehidupan global. Hegemoni kekuasaan juga di tangan mereka, mau contoh yang bagaimana lagi?“
“Jangan lupa, Ann. Sejarah sekularisme Eropa lahir, karena ketidaksesuaian agama mereka dengan ilmu pengetahuan. Dan kezaliman yang dilakukan gereja serta para pendetanya. Sedang Islam tidak seperti itu. Malah menyuruh menuntut ilmu, mulai dari buaian hingga keliang lahad. Bahkan sampai kenegeri Cina. Orang-orang beriman dan berilmu, diangkat beberapa derajat diatas manusia lainnya. Jadi Islam sangat mengutamakan ilmu. Itulah yang kubaca dari buku yang dipinjamkan Isti.“
“Isti? Wah rupanya kau telah ditularinya Lyd. Yang penting kan realitas. Nah realitasnya sekarang bagaimana? Maju? “ katanya lagi seakan mengejek.
“Muslimin dulu umat yang jaya, Ann. Terbaik, adil dan pilihan. Mereka menguasai sampai ke Eropa, Spanyol, Perancis Selatan, Sisilia, bahkan orang Barat banyak belajar di Sekolah Tinggi Islam Toledo. Mereka pintar juga karena dicerahkan kaum muslimin. Filsafat Yunani gak di kenal tanpa mereka, Ann.“
“Ah, dulu. Bangga banget sih dengan dulu. Yang penting sekarang Lyd. Sekarang!“
“Tapi, dulu kan sejarah, Ann. Tolok-ukur masa kini. Pelajaran untuk sekarang dan yang akan datang,“ kata saya bersemangat.
“Wah, rupanya kau telah menjadi fundamentalis pula Lyd,“ ucapnya mencemooh.
Dan sebelum sempat saya menjawab, ia telah menyambungnya lagi dengan cepat:
“Aku tetap dengan pendapatku, Lyd. Bahwa kemajuan hanya bisa tercapai karena memisahkan agama dari Negara. Dari kehidupan secara umum. Maka dari itu, tidak ada jalan lain, kita harus meniru Barat. Membebaskan diri dari keterkungkungan agama yang kolot. Mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman.“
Saya bertambah geram dan jengkel padanya.
“Sebenarnya, apa sih, ukuran kemajuan menurutmu Ann? Apakah hidup bebas tanpa ikatan moral dan agama? Bebas, sebebas-bebasnya? Lalu, apakah itu mungkin? Apakah itu bakal menghasilkan kebaikan? Ketenteraman, kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan?“ ucap saya pula beruntun, seolah orator sedang berpidato dengan semangatnya.
Ia diam, tapi wajahnya masam.
Saya pun melanjutkan, tak kalah semangatnya dengan yang tadi.
“Berbicara tentang realitas seperti apa yang kau katakan tadi, maka bagaimanakah realitas masa kini, Ann? Zaman dengan peradaban Barat yang kau bangga-banggakan itu? Apakah terisi kebaikan? Keadilan, ketenteraman, kedamaian, persamaan, persaudaraan, kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan?“ kata saya beruntun dan betubi-tubi pula.
Ia masih jua diam.
Dan saya menambahkan lagi, kali ini bernada lembut penuh ajakan.
“Bukalah hatimu Ann. Lihatlah sekeliling. Asia, Afrika, dunia. Adakah realitas seperti itu? Atau bahkan mungkin terbalik?“
“Aaah, pusing gue. Debat melulu! Yang senang dengan kelompok jeans dan kaos berlengan pendek, dan tetap mau bergabung, ya disini. Yang tidak mau, ingin berubah dan mau pindah, silahkan buka. Ganti dengan jubah dan jilbab, masuk kelompok Isti. Pusing-pusing amat!“ potong Rita jengkel dan sebal. Menyindir dengan nada keras.
(Petikan dari Kumpulan Cerita Pendek, Serial Gender: “Jubah Menggantikan Jeans”, dalam buku: “Malam Ini Tak Ada Cinta”, Fatma Elly, Establitz, 2006)
NYATA TERLIHAT, dalam cerminan cerita pendek di atas, adanya dua kubu yang berbeda, dengan dua paham atau pandangan yang berbeda pula. Di antara para mahasiswi yang terdapat pada suatu kampus, di mana mereka sedang belajar menyerap dan menuntut ilmu.
Kubu pertama diwakili oleh Isti dan kawan-kawan. ‘Berbusana muslimah’, tapi dianggap fundamentalis. Berbau ‘kultur’ Arab.
Kubu kedua diwakili oleh Anna, Rita, dan kawan-kawannya. Berbusana ‘jeans dan kaos berlengan pendek’.
Sementara si tokoh ‘saya’, Lydia, berada di tengah, di antara kedua kubu tersebut. Meski awalnya berada di kelompok Anna, Rita dan kawan-kawan. Tapi kemudian mulai menjurus pada yang pertama. Kelompok Isti. Karena hidayah Allah, dan kemauan mencari dan mengkaji, mempelajari nilai-nilai dan ajaran Islam, serta sering berada di kelompok Isti. Mau menemani dan berkawan.
Kedua kubu tersebut, saling berseberangan. Baik di dalam cara berpakaian, berperilaku maupun di dalam cara berpikir dan sudut pandang. Bahkan di dalam selera.
Kubu pertama merasa terpanggil oleh nilai agama yang dianutnya, maka mereka berbusana muslimah:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu…………” (QS 33:59)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS 24:31)
Hadits Asma’ binti Abi Bakar ra.: Kami telah diberi hadits oleh Al-Walid dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Diryak dari ‘Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar memasuki rumah Nabi SAW. dengan pakaian yang tipis. Sehingga ketika beliau memergokinya, beliau bersabda:
“Hai Asma’,apabila wanita telah mencapai masa haidh (masa baligh), maka ia tak boleh dipandang, kecuali ini dan ini.” (Kemudian Rasulullah menunjuk kepada wajah dan dua telapak tangannya).
PROF AKBAR S. AHMED, dalam bukunya ’Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam’, Mizan, berkata antara lain:
”Karena kekuatan dan keagresifan media Barat dan sikapnya yang anti Islam, orang muslim kehilangan kapasitas untuk merepresentasikan diri mereka. Bahkan untuk menyatakan apa yang mereka lihat dan ketahui, sebagai realitas hidup mereka”.
“Realitas muslim bagi dunia, sungguh telah menjadi citra-citra di televisi, kata permusuhan di surat kabar, humor yang kejam dalam gurauan universal.”
”Orang muslim tidak punya suara di media, tidak punya mimbar. Sehingga tidak dapat menolak dan menjelaskan. Ungkapan identitas kultural muslim, dipandang sebagai fanatisme. Tuntutan muslim untuk mendapatkan hak-haknya yang absah, dipandang sebagai fundamentalisme”.
Ya seperti itulah.
Memakai busana muslimah dengan jubah dan jilbab untuk menutup aurat sebagaimana yang diperintahkan Allah, dikatakan fanatis dan fundamentalis. Bergaya Arab. Padahal perintah Allah.
SEMENTARA ITU John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya ‘Megatrends 2000’ memprediksi bahwa abad XXI ini ditandai dengan adanya berbagai kesamaan, dengan tiga F: food, fashion, dan fun. (makanan, mode dan hiburan), sedang Jalaluddin Rakhmat, menambahkannya dengan faith, fear, facts, fiction, dan formulation. (keprcayaan, rasa takut, fakta/realitas, yang tak berdasarkan kenyataan yang sesungguhnya, perumusan)
NAMUN, bukan semua itu yang akan penulis fokuskan di sin secara terperinci. Hanya lebih terpusat pada adanya global versus di antara masyarakat penduduknya.
Jelas di atas terlihat gambaran ‘fashion’/ mode, atau cara berpakaian yang berbeda di antara mereka penghuni dunia. Sesuatu yang berseberangan. Atau berlainan. Saling berhadapan satu sama lain. Tidak sama.
Amerikanisasi lewat ‘jeans dan kaos berlengan pendek’ dihadapi dengan jubah dan jilbab.
Begitu pula dengan alam pikiran dan sudut pandang. Yang pertama ingin kembali kepada ajaran agama, mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya SAW., sedang yang lainnya berkiblat kepada Barat dengan skularisme yang dianutnya.
Yang petama, kelompok Isti menganggap “kemajuan”, bagaimana mereka bisa loyal/setia dengan ajaran agama dan mengikuti keseluruhan nilainya berdasarkan perintah Tuhan-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS 2:208)
SEDANG YANG LAINNYA menilai kemajuan berdasarkan paham dari Barat, yang tidak mencampuradukkan agama di dalam kehidupan umum. Kehidupan pribadi dipisahkan dari kehidupan sosial/Negara.
Yang pertama melihat dari aspek sejarah, kejayaan umat, berdasarkan penerapan ajaran agama, termasuk bagaimana menggali, mencari dan memiliki ilmu, sementara yang lain mengganggap ilmu dan teknologi bisa maju dan berkembang karena adanya pemisahan tersebut.
Yang pertama melihat dari aspek sejarah, bahwa peradaban Islam saat itu, memperlihatkan ketenteraman, kebaikan, keadilan dan kedamaian, pertengahan di antara kehidupan akhirat dan dunia, (QS 28:77), yang melahirkan kesejahteraan, bahkan sesudah beberapa priode waktu kemudian, pada zaman Umar bin Abdul Aziz, menduduki singgasana Khalifah hanya selama dua setengah tahun, setelah kebobrokan yang melanda bani Umaiyah, beliau berhasil membuat rakyat nya menjadi kaya dan makmur. Sehingga orang ingin mengeluarkan zakat terpaksa mundar-mandir ke sana-sini mencari orang-orang yang patut menerimanya. Tetapi, tidak juga menemukan. Sehingga terpaksa pulang ke rumah, membawa kembali zakat yang hendak dibagi-bagikan. (lihat buku: “Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, K.H. Firdaus A. N., Publicita, 1977
Begitu pula Al Qur’an menginformasikan:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu……………..(QS 2:143)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang munkar, dan beriman kepada Allah…………………...“. (QS 3:110)
Bersamaan dengan globalisasi gaya hidup, yang dicetuskan John Naisbitt dan Patricia Aburdene, maka bangkit pula kehidupan beragama. Dan mereka berdua menyebutnya dengan kebangkitan umat Islam. Dimana-mana Islam sedang memperlihatkan identitasnya.
Mereka kembali sadar. Dan untuk itu, memperjuangkan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana dulu, zaman keemasan yang pernah diraihnya. Dengan peradaban baik yang mereka miliki, di antaranya oleh kepemilikan ilmu pengetahuan, dimana agama mereka sangat menjunjung tinggi untuk itu. Menyerukan untuk menuntut dan mempelajarinya. Dan menilainya dengan derajat yang lebih tinggi, dibanding dengan mereka yang biasa/tidak mememiliki iman dan ilmu.
“…………….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…………… “ (QS 58 :11).
“…………………….Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui, dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.” (QS 39:9).
Juga yang berkenaan dengan ilmu ini, bisa dilihat pada QS 29 :43, 49, 13: 43, 27:40, 7: 7, 52, 55:3-4. 3:190-191.
“Orang berilmu (ulama) itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi.” (Dirawikan Abu Dawud, Ath-Thurmudzi, dari Abid Darda’).
“Isi langit dan isi bumi memintakan ampun untuk orang yang berilmu.” (ini adalah sebagian dari Hadits Abid Darda’).
“Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”. (HR.Ibnu Majah dari Anas).
“Carilah ilmu itu meskipun di negeri Cina; karena sesungguhnya mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, para Malaikat meletakkan sayapnya (memayungkan sayapnya) karena senang (rela) dengan yang ia tuntut”. (HR. Ibnu Abdul Barr).
“Kelebihan orang berilmu atas orang ‘abid (orang yang banyak ibadahnya), adalah seperti kelebihan bulan malam purnama dari bintang-bintang yang lain.” (dirawikan Abu Dawud, At-Tirmidzi dll, dari Abid Darda’).
“Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sorga”. (HR Muslim dari Abi Hurairah).
Dan lain-lain lagi yang menyatakan keutamaan ilmu, dan orang yang mencari dan memilikinya.
TAK PELAKLAH, kalau di dalam sejarah dinyatakan bahwa ilmu yang bersifat praktek pragmatis, eksperimen, datangnya dari Islam. Bahkan filsafat Yunani dikenal dan diketahui melalui tangan-tangan kaum muslimin.
SADAR, bahwa zaman yang mereka katakan kemajuan, karena mengikuti peradaban Barat dengan segala ajarannya itu, termasuk hak asasi dan demokrasi, tapi sebenarnya membawa malapetaka dan kerusakan sebagaimana yang digambarkan oleh tokoh cerpen di atas, membuat mereka semakin gigih melakukan jalan kembali kepada Islam.
Semata-mata untuk melakukan perbaikan. Seperti yang dilakukan Isti dan kawan-kawannya itu.
Karena realitas yang ditemui, kemajuan yang didengungkan, baik berkenaan dengan peri kehidupan pada umumnya, atau yang mengenai hak asasi dan demokrasi, masih merupakan sesuatu yang dipertanyakan, apakah benar-benar sudah terealisasi, atau hanya kata tanpa arti yang sebenarnya.
Akhir dari Cerita Pendek, Serial Gender, dengan judul di atas “Jubah Menggantikan Jeans”, memperlihatkan, betapa kemajuan dengan fenomena kebebasan yang didengungkannya, ternyata hanyalah mendatangkan malapetaka bagi Anna, Rita, dan kawan-kawan-kawannya itu. Anna hamil, begitu juga Rita:
“Hidupku hancur Lyd. Aku hamil. Orang tuaku mengusirku, Dony meninggalkanku. Rita marah dan mengancamku, karena ia juga dihamili Dony,” katanya.
GLOBAL VERSUS ini jauh-jauh sudah difenomenai oleh Al Qur’an:
“………………………Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS 2:251)
Untuk itu, Sirah Nabawiyah dan Al Qur’an telah memperlihatkan: Bagaimana Rasulullah SAW. bersama kaum muslimin telah mencapai kemenangan besar pada saat Futuh Mekkah/ Jatuhnya/ Kemenangan Besar atas Mekkah. Dan ini diinformasikan Al Qur’an:
Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS 17:81)
Ya, Global Versus akan melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka serta merta yang batil itu lenyap……………”(QS 21:18).
Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar