“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS 9: 82)
SETELAH JATUHNYA MEKKAH, pada hari kemenangan besar yang diperoleh Rasul SAW. dan kaum muslimin, hari itu seluruh penduduk Mekkah memeluk Islam, walau sebagian dari mereka masih tetap ragu-ragu. Masih mempertahankan kejahiliyahannya. Mempercayai berhala-berhala dan bersumpah dengan menyembelih kurban sebagai sesaji di depan berhala.
JATUHNYA KOTA MEKKAH ke tangan kaum muslimin, hasil serbuan mendadak di atas kecermatan merahasiakan rencana yang hendak dilaksanakan. Hingga orang-orang Quraisy dibuat tidak berkutik di dalam kandangnya sendiri. Menyerah tanpa syarat! Strategi perang seperti ini, pernah juga dilakukan Bismark, Jerman, dan Saddam Husein, saat menyerbu Iran. Musyrik Quraisy tidak sempat melakukan perlawanan. Tidak dapat meminta bantuan dari pihak manapun juga. Dan terpaksa berpikir, kemenangan Islam tidak dapat dibendung!
Setiap kemenangan akan mendapatkan reaksi. Apalagi kemenangan Rasul SAW. dan kaum muslimin. Baik dari kalangan kaum kafir ataupun dari kalangan kaum muslimin sendiri yang tidak menyukainya. Yang kita kenal sebagai orang-orang munafik.
TAK PELAKLAH, reaksi datang dari kabilah Hawazin dan Tsaqif. Apalagi, hegemoni kepemimpinan atas Negara-negara Arab, begitu dominan mereka incar dan inginkan. Dan saingan terbesar mereka untuk itu, kabilah Quraisy; telah tunduk dan dikalahkan oleh kaum muslimin. Maka peluang ini tak boleh disia-siakan. Mereka pun lalu membentuk kolaborasi dan bersekutu untuk melawan, menyerang dan menghancurkan kaum muslimin dengan Rasul-Nya SAW! Sebelum kaum muslimin sempat mengkosolidasi kemenangan di Mekkah dan meneruskan pembasmian sisa-sisa paganisme.
PERANG HUNAIN
Yang ingin difokuskan disini, perilaku kaum munafik. Baik di perang Hunain maupun di perang Tabuk. Karena kasus perang Hunain, dimana kaum musyrikin dari kabilah Hawazin dan Tsaqif berperang melawan Rasul SAW. dan para sahabat, di pihak kaum muslimin itu terdapat kaum thulaqa’. (Bekas kaum musyrikin Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota tersebut ke tangan kaum muslimin).
Mereka ini berperang tidak berdasarkan keikhlasan. Tapi semata-mata karena berbagai kepentingan. Kedudukan, harta, dan lain-lain.
Dalam Al Qur’an digambarkan tentang orang-orang munafik:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; kaena itu mereka tidak dapat mengerti. Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS 63: 1-4)
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari Kemudian, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan:“Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (QS 2: 8-14)
Hal ini pada perang Hunain, bisa kita lihat; betapa mereka begitu senang mengetahui kaum muslimin pada babak awal pertempuran ini, terpukul mundur dan babak belur.
Beberapa orang di antara mereka kembali pada kekafiran terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Abu Sufyan terang-terangan berkata: “Mereka kabur dan terus kabur, tidak akan berhenti sebelum sampai ke laut!”.
Itu tidak aneh, karena Abu Sufyan masih menggendong beban kejahiliyahan di atas punggungnya.
Demikian pula Kaladah bin Al-Junaid, ia mengatakan: “Hari ini “sihirnya” (yakni “sihirnya”Muhammad SAW.)sudah tidak mempan lagi……..!”
(Lihat: Fiqhus-Sirah, Muhammad Al-Ghazaliy, PT.“Al-Ma’arif”)
Dalam perang Hunain ini, setelah kemenangan kaum muslimin di babak kedua, terlihat betapa kelakuan mereka yang haus pada harta, terlihat saat pembagian ghanimah (barang-barang jarahan perang).
Abu Sufyan menerima seratus ekor unta, dan empat puluh tail perak. Pada saat menerima pembagian itu ia bertanya: “Bagaimana anakku, Mu’awiyah?”
Kepada Mu’awiyah diberikan jatah yang sama dengan ayahnya. Tetapi Mu’awiyah bertanya juga: “Bagaimana anakku, Yazid?”
Kepada Yazid diberikan jatah yang sama dengan jatah ayahnya, Mu’awiyah.
PERANG TABUK.
Dalam perang Tabuk, dimana kaum muslimin dalam kondisi sulit dan sukar menghadapi Rumawi, tidak sama dengan melawan satu kabilah yang terbatas perbekalan dan persenjataannya, terlihat juga sikap-sikap bimbang dan ragu ini dari kalangan muslimin. Sehingga Allah memaparkannya dalam Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila kepada kalian dikatakan: “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah.” kalian merasa berat dan lebih suka tinggal di tempat sendiri? Apakah kalian merasa puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibanding dengan kenikmatan hidup) di akhirat hanyalah sedikit (sekali). Jika kalian tidak berangkat(ke medan perang), niscaya Allah akan menimpakan siksa yang pedih kepada kalian, dan Allah akan mengganti kalian dengan ummat yang lain, dan kalian tak akan sanggup mendatangkan madharrat apapun kepada-Nya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 9: 38-39)
ALLAH DENGAN TAJAM DAN KERAS, mencela sikap kaum munafik dan mengungkapkan pikiran orang-orang yang bimbang dan ragu serta orang-orang yang lebih senang santai tinggal di rumah mengurus tanah ladang, daripada menderita panas terik di tengah sahara. Jerih payah perjalanan dan kesukaran dalam peperangan, seperti ini:
“Orang-orang yang tertinggal (tidak turut berperang) itu merasa sangat gembira dengan tertinggalnya mereka di belakang Rasul Allah. Mereka itu tidak suka berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa, bahkan mereka berkata: “Janganlah kalian berangkat (berperang) dalam (cuaca) panas terik (seperti ini)!” Katakanlah (kepada mereka, hai Muhammad): “Api neraka jahannam jauh lebih panas, kalau kamu mengetahui!” (QS 9:81)
Kalau kita umpamakan, cuaca panas terik, sulit dan sukar, yang dialami kaum mulimin saat ini, baik karena kekurangan harta, jiwa, ilmu dan kesehatan, dan sebagainya lagi, maka kembali pada judul: tertawa sedikit, menangis banyak, penulis mempertanyakan; apakah kita termasuk kategori orang-orang yang seperti diperlihatkan di atas? Yaitu orang-orang yang mengaku beriman, tetapi masih bimbang dan ragu, malah takut dan ngeri atas resiko berjuang menegakkan kebenaran, keadilan, dan kebaikan untuk umat manusia? Merasa lebih suka duduk-duduk santai bersama anak isteri/suami, lebih betah mengurus dan menjalankan bisnis perusahaan atau karir yang dijabat, demi mendapatkan harta dan kedudukan, kesenangan dunia belaka, yang nyata-nyata sedikit nilai kesenangan kebahagiaannya, dibanding kesenangan dan kebahagiaan akhirat nan abadi? Tak terkira dan terbayangkan keindahan dan kenikmatannya oleh otak dan akal kita? Sementara di sekeliling kita, penuh dengan aneka ragam kejahatan dan kemungkaran? Aneka ragam kebatilan dan kezaliman? Aneka ragam kebodohan dan kemiskinan? Aneka ragam kehinaan dan keterhinaan?
Ataukah yang kita inginkan, lebih banyak ketawa, sekarang? Berhura-hura meraup hawa nafsu dunia, selagi mumpung masih hidup? Tidak khawatir, apalagi takut, terhadap kehidupan di masa depan? Akhirat? Karena memang, kita masih ragu dan bimbang akan adanya hari pembalasan dan perhitungan kelak? Bahkan, tidak yakin dan percaya akan adanya hari tersebut? Sebab satu-satunya yang kita percaya dan yakini hanyalah eksistensi materi belaka, sebagaimana materialisme meyakininya? Sehingga dengan mudah dan seenaknya saja berkata seperti yang digambarkan Al Qur’an:
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”. Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS 45: 24)
Hingga mereka tak segan-segan berlaku seenaknya saja merusak dan membuat keonaran dan bala bencana untuk manusia dan kehidupan di bumi ini, tanpa ada rasa takut dan tanggung jawab untuk akhirat.
Karena memang mereka tidak beriman dan memiliki kepercayaan untuk itu.
Padahal, bagi mereka orang-orang yang beriman, yakin dan percaya, kalau mereka yang seperti digambarkan di atas, tetap di dalam kondisi seperti itu, hingga maut menjemput mereka, maka tiada lain akan mengalami hal seperti judul di atas: tertawa sedikit, menangis banyak.
Atau barangkali mereka sama sekali tidak bisa tertawa, meski hanya sedikit. Karena berat siksaan yang akan mereka pikul di akhirat nanti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar